Badan Kepegawaian Negara (BKN) baru-baru ini mengusulkan sistem kerja fleksibel bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Melalui skema Flexible Working Arrangement (FWA), ASN akan diberikan kesempatan untuk bekerja dari mana saja (Work From Anywhere/WFA) selama dua hari dalam seminggu dan tiga hari bekerja dari kantor (Work From Office/WFO). Langkah ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2023 tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai ASN.
Kepala BKN, Prof. Zudan Arif, menegaskan bahwa kebijakan ini tidak boleh mengurangi kualitas pelayanan publik. ASN tetap harus menaati aturan jam kerja dan target kinerja yang telah ditetapkan. Fleksibilitas ini bukan berarti pengurangan kewajiban, melainkan bentuk penyesuaian dengan perkembangan zaman.
Meski aturan ini telah menjadi angin segar bagi banyak pegawai negeri, tapi tidak semua instansi dapat menerapkannya. Misalkan saja Kementerian Pekerjaan Umum (PU), mereka harus selalu siap siaga, terutama dalam menghadapi bencana alam atau tugas yang memerlukan respons cepat. Sekjen Kementerian PU, Mohammad Zainal Fatah, menolak konsep WFA dengan alasan bahwa kehadiran fisik tetap menjadi kebutuhan utama dalam bidang pekerjaan mereka.
"Kalau ada banjir atau bencana alam, bagaimana bisa hanya mengandalkan koordinasi lewat Zoom? Kami harus langsung turun ke lapangan," ujar Zainal.
Kementerian PU juga menilai bahwa efektivitas pekerjaan mereka sangat bergantung pada kerja tim di lokasi, bukan sekadar komunikasi virtual.
Tahukah, Sobat Media? Ternyata dengan adanya penerapan WFA ini juga dikaitkan atau imbas dari upaya efisiensi anggaran. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 mendorong instansi pemerintah untuk mengelola keuangan lebih bijaksana. Kepala BKN menilai bahwa dengan penerapan WFA dapat membantu mengurangi biaya operasional yang tidak perlu dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan anggaran negara.
Namun, skema ini tidak lepas dari tantangan, terutama dalam hal pengawasan dan evaluasi kinerja ASN. Seorang ekonom, Achmad Nur Hidayat, mengingatkan bahwa tanpa sistem monitoring yang ketat, produktivitas ASN bisa menurun.
Dia bahkan mengaitkannya dengan situasi pada saat Covid-19. "Selama pandemi Covid-19, banyak instansi pemerintah menerapkan kerja dari rumah, tetapi tidak semua berhasil menjaga efektivitas kerja pegawai. Oleh karena itu, sistem evaluasi berbasis output harus diterapkan agar kinerja tetap terjaga," kata Achmad.
Penerapan FWA merupakan langkah besar bagi birokrasi Indonesia dalam menghadapi era digital. Jika dikelola dengan baik, kebijakan ini berpotensi meningkatkan kesejahteraan pegawai tanpa mengorbankan pelayanan publik. Namun, jika tidak didukung oleh mekanisme evaluasi yang transparan dan berbasis hasil, kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang bagi efektivitas pemerintahan. Apakah itu tidak akan menjadi hal yang ribet?
Sekarang, keputusan berada di tangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan pimpinan instansi. Merekalah yang harus memastikan bahwa fleksibilitas kerja ASN tidak hanya menjadi sekadar kebijakan, tetapi juga solusi nyata bagi peningkatan kinerja pemerintahan.
Akankah fleksibilitas kerja ini menjadi solusi adaptif yang efektif atau justru membuka risiko kerja baru yang membuat ribet? Jawabannya tergantung pada bagaimana kebijakan ini diterapkan dan diawasi dalam praktiknya.