Dilansir dari about.starbucks.com/code-of-conduct/, dalam kode etik kedai kopi Starbucks telah menegaskan ruang atau gerai mereka hanya untuk mitra dan pelanggan mereka saja. Yang dimaksud dengan gerai di sini adalah mulai dari pelataran, ruang inti kafe, hingga toilet. Kode etik ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kafe yang lebih ramah. Dengan kode etik baru ini, orang-orang yang dulunya boleh menikmati fasilitas gerai Starbucks tanpa membeli sesuatu terlebih dahulu, kini harus membeli sesuatu dulu sebelum menikmatinya. Bahkan, Starbucks tak segan untuk melaporkannya ke pihak yang berwajib jika masih ada yang melanggar kode etik mereka.
Di artikel lain yang berjudul “Back to Starbucks: Transforming our support organization” pada website yang sama, Ketua dan Direktur Utama Starbuck juga berencana untuk mengurangi para pekerja mereka dengan tujuan pengefisiensian kinerja.
Rencana tersebut disebabkan oleh tebalnya layering kinerja Starbucks, seperti struktur pembagian kerja yang kompleks dan terlalu banyak manajer yang mengurus tim-tim kecil.
Obrolan antara juru bicara Starbucks, Jaci Anderson dengan BBC News semakin memperjelas berita ini. Menurutnya, langkah ini dilakukan demi memprioritaskan pelanggan yang telah membayar saja agar dapat nongkrong dengan nyaman di gerai mereka.
Melalui berita yang telah beredar, Starbucks Indonesia mengklarifikasi melalui akun instagram mereka pada 21 Januari 2025. Dalam unggahan klarifikasi tersebut, mereka menjelaskan, “sehubungan dengan berita yang beredar mengenai larangan untuk menikmati fasilitas gerai tanpa transaksi dan pemangkasan karyawan, aturan tersebut tidak berlaku di Indonesia.” Kode etik kedai kopi tersebut juga hanya berlaku pada gerai yang ada di Amerika dan Kanada saja. Ketidaksinambungan tersebut terjadi dikarenakan mitra lisensi resmi untuk pemegang merek Starbucks di Indonesia adalah PT Sari Coffee Indonesia, bukan Starbucks Corporation.
Menurut Starbucks Indonesia, pembaharuan kode etik kedai kopi tersebut diberlakukan bukan hanya untuk kenyamanan pelanggan semata, tetapi banyaknya penyalahgunaan fungsi gerai yang diakibatkan oleh isu sosial pada Starbuck di Amerika.
Jika kita menggali lebih dalam tentang berita Starbuck di Amerika, memang ada beberapa pemberitaan yang tidak baik tentang kedai kopi yang telah mendunia tersebut. Seperti berita yang diterbitkan oleh Tempo pada tahun 2015, ada dua pria berkulit hitam yang ditangkap oleh polisi dikarenakan mereka hanya duduk dan menggunakan toilet di Starbuck Philadelphia untuk menunggu teman mereka datang tanpa memesan apapun. Ada juga dari Business Insider yang memberitakan tentang masalah toilet yang harus dihadapi oleh karyawan Starbucks di beberapa kota di Amerika pada 2019, di beberapa gerai terdapat banyak obat-obatan terlarang dan bekas jarum suntik yang berserakan di dalam toilet yang tak lain dan tak bukan hasil dari penggunaan narkoba. Tak heran mengapa Starbucks di Amerika memperketat kode etik kedai kopi mereka jika meninjau dari beberapa kejadian buruk yang dialami oleh gerai-gerai mereka.
Berbalik ke klarifikasi Starbucks Indonesia, isi kolom komentar unggahan klarifikasi tersebut berisi ragam opini. Hanya sedikit yang memuji klarifikasi tersebut, kebanyakan warga internet menaruh perhatian kepada Starbucks Indonesia dan mengajak masyarakat untuk tahu diri jika ingin nongkrong dan menggunakan toilet di sebuah tempat usaha. Seperti yang diungkap oleh salah satu komentator unggahan tersebut, @ycnath, “c’mon starbucks, don’t settle for less. yakali ga beli bisa nongkrong, yg ada ntar jd tempat tongkrongan yg malah ganggu customer loyal yg beneran beneficial. please.”
Kelanjutan kode etik kedai kopi Starbuck ini menarik untuk dinanti, sebab dalam artikel “Back to Starbucks: Transforming our support organization” pada paragraf keempat menjelaskan, bahwa program itu secara global akan diterapkan, Amerika dan Kanada hanyalah awal dari kebijakan ini. Sedangkan Starbucks Indonesia telah menyatakan kebijakan itu tidak berlaku di Indonesia. Akankah Starbucks cabang mengikuti kebijakan Starbuck pusat? Melihat perilaku konsumtif masyarakat negeri ini yang suka akan hal gratisan. Akankah masyarakat menjadikan gerai-gerai Starbucks sebagai sasaran empuk untuk tempat nongkrong gratis setelah melihat klarifikasi ini? Mungkinkah hal buruk yang terjadi pada Starbuck di Amerika juga akan terjadi di Indonesia? Ataukah ini adalah salah satu strategi pemasaran yang dilakukan oleh Starbucks Indonesia dalam mendongkrak penjualan dan membuka pandangan baru terhadap brand mereka di tengah situasi boikot yang didasari Palestina kontra Israel?