Pengesahan Revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh DPR menuai perdebatan sengit di kalangan akademisi, pegiat demokrasi, dan masyarakat sipil. Salah satu isu utama yang menjadi sorotan adalah potensi kembalinya Dwi Fungsi ABRI, konsep yang pernah dihapus pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Dilansir dalam iNews.id, beberapa pihak menilai bahwa pemberian kewenangan lebih luas kepada TNI untuk mengisi jabatan sipil berpotensi memicu arogansi kekuasaan. Piatur, seorang pengamat militer, menekankan bahwa identitas militer yang melekat pada individu bisa mempengaruhi netralitas dalam menjalankan fungsi sipil. Selain itu, ketentuan ini juga dinilai dapat menciptakan ketidakadilan dalam jenjang karir pegawai sipil.
Menurut Piatur, jika anggota TNI ingin berkontribusi dalam jabatan sipil, sebaiknya mereka pensiun terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar mereka benar-benar berfungsi sebagai warga sipil tanpa membawa identitas militer. Selain itu, ia juga menyoroti potensi ketimpangan dalam pengelolaan anggaran negara jika TNI diberikan jabatan di pemerintahan.
Kontroversi dalam Pengesahan RUU TNI
RUU TNI yang telah disahkan ini memuat tiga perubahan krusial, yaitu:
Pasal 7
Mengatur Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dengan menambahkan dua tugas baru, yakni menanggulangi ancaman pertahanan siber serta melindungi dan menyelamatkan warga negara di luar negeri.
Pasal 47
Mengatur penempatan prajurit TNI dalam jabatan sipil, yang kini diperluas dari 10 menjadi 14 kementerian/lembaga.
Pasal 53
Mengubah batas usia pensiun anggota TNI, dengan perwira tinggi bintang empat dapat diperpanjang hingga dua tahun berdasarkan keputusan presiden.
Pengesahan RUU ini juga mendorong petisi publik berjudul Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI, yang telah mendapatkan lebih dari 12.336 tanda tangan. Para pengamat menilai bahwa aturan ini dapat menghambat reformasi peradilan yang lebih adil dan memperpanjang transisi dalam sistem hukum militer yang sebenarnya tidak diperlukan.
Ekspansi Peran TNI dalam Kementerian dan Lembaga Sipil
Berdasarkan revisi UU TNI, anggota TNI aktif kini dapat menduduki jabatan di 14 kementerian/lembaga, antara lain:
Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
Kementerian Pertahanan, termasuk Dewan Pertahanan Nasional
Kesekretariatan Negara
Badan Intelijen Negara
Badan Siber dan Sandi Negara
Lembaga Ketahanan Nasional
Badan Search And Rescue (SAR) Nasional
Badan Narkotika Nasional (BNN)
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
Badan Penanggulangan Bencana
Badan Penanggulangan Terorisme
Badan Keamanan Laut
Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer)
Mahkamah Agung
Namun, bagi anggota TNI yang ingin menduduki jabatan di luar 14 kementerian/lembaga tersebut, mereka diwajibkan untuk mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu.
Batas Usia Pensiun TNI
Revisi dalam Pasal 53 juga mengubah batas usia pensiun anggota TNI:
Bintara dan Tamtama: 55 tahun
Perwira sampai dengan pangkat Kolonel: 58 tahun
Perwira Tinggi Bintang 1: 60 tahun
Perwira Tinggi Bintang 2: 61 tahun
Perwira Tinggi Bintang 3: 62 tahun
Perwira Tinggi Bintang 4: 63 tahun (dapat diperpanjang maksimal 2 tahun)
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TNI, Utut Adianto, menegaskan bahwa revisi ini tetap mendasarkan pada nilai demokrasi dan supremasi sipil. Namun, banyak pihak yang masih meragukan apakah perubahan ini justru memperkuat dominasi militer dalam pemerintahan sipil.
Pengesahan revisi UU TNI telah menciptakan gelombang pro dan kontra. Di satu sisi, perubahan ini dianggap sebagai bagian dari modernisasi dan adaptasi terhadap tantangan baru seperti ancaman siber. Namun, di sisi lain, aturan ini juga dinilai sebagai upaya menghidupkan kembali dwifungsi TNI, yang berpotensi melemahkan supremasi sipil dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Dengan semakin luasnya peran militer dalam jabatan sipil dan peningkatan usia pensiun prajurit, wacana reformasi TNI yang telah lama diperjuangkan kini menghadapi tantangan baru. Apakah revisi ini akan membawa kemajuan atau justru menjadi langkah mundur bagi demokrasi Indonesia?
Alasan RUU TNI Mendapat Banyak Penolakan
Salah satu poin kontroversial dalam revisi UU TNI adalah adanya peluang bagi militer untuk memegang peran ganda, yakni bertugas sebagai aparat bersenjata sekaligus mengisi jabatan sipil. Kondisi ini dikhawatirkan dapat membatasi kebebasan berpendapat di masyarakat.
Selain demonstrasi, penolakan terhadap RUU TNI juga marak di media sosial. Netizen, termasuk para akademisi, turut menyuarakan keberatan mereka melalui berbagai unggahan dan poster digital yang menolak dwifungsi militer dalam pemerintahan. Beberapa alasan utama mengapa RUU TNI menuai banyak protes yaitu:
1. RUU TNI Tidak Termasuk dalam Prioritas Prolegnas 2025
Menurut Hukumonline, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama, menilai bahwa revisi UU TNI tidak sejalan dengan semangat reformasi, konstitusi, maupun prosedur legislasi yang berlaku.
RUU ini tidak termasuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Namun, pada 18 Februari 2025, DPR tiba-tiba mengesahkan RUU TNI sebagai bagian dari Prolegnas tanpa melalui mekanisme yang benar. Sesuai Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR), perubahan agenda rapat harus diajukan secara tertulis minimal dua hari sebelum pelaksanaan. Sayangnya, aturan ini diabaikan dalam proses pengesahan RUU TNI.
Selain itu, masuknya RUU TNI dalam Prolegnas 2025 tidak melalui pertimbangan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR. Padahal, Baleg memiliki tugas untuk menilai urgensi sebuah RUU dibandingkan dengan rancangan lain yang lebih dahulu masuk dalam daftar prioritas.
2. RUU TNI Tidak Melewati Tahap Penyusunan yang Sah
Proses legislasi RUU TNI juga dinilai melanggar aturan karena tidak melalui tahapan penyusunan sebagaimana yang diatur dalam Bab V UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Seharusnya, sebelum masuk ke dalam tahap pembahasan, RUU harus melalui perencanaan yang matang. Namun, Surat Presiden yang menunjuk perwakilan pemerintah untuk membahas RUU ini telah diterbitkan pada 13 Februari 2025, sebelum RUU TNI resmi masuk dalam Prolegnas 2025 pada 18 Februari 2025.
Surat Presiden ini menjadi dasar dimulainya pembahasan antara DPR dan Pemerintah dalam Rapat Kerja pada 11 Maret 2025. Proses ini hanya dapat dilakukan jika RUU tersebut merupakan bagian dari carry over, yakni lanjutan dari pembahasan pada DPR periode sebelumnya (2019-2024). Sayangnya, RUU TNI tidak termasuk dalam kategori carry over, sehingga tahapan legislasi yang ditempuh tidak sesuai prosedur.
3. Proses Pembahasan RUU Tidak Transparan
Salah satu kritik terbesar terhadap RUU TNI adalah kurangnya transparansi dalam pembahasannya. DPR tidak pernah secara resmi menyebarluaskan draf RUU kepada publik, sehingga masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara berarti dalam proses legislasi.
Kondisi ini diperparah dengan sikap DPR yang terkesan menutup diri terhadap kritik publik. Bahkan, DPR sempat menyatakan bahwa draf yang beredar di masyarakat berbeda dengan yang sedang dibahas, sehingga semakin membingungkan publik dan membatasi ruang diskusi yang sehat.
RUU TNI menuai banyak protes karena dianggap bertentangan dengan prinsip reformasi dan berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer dalam pemerintahan. Selain itu, proses legislasi yang tidak transparan dan tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku semakin memperkuat penolakan terhadap RUU ini. Oleh karena itu, banyak pihak mendesak agar revisi UU TNI dikaji ulang demi menjaga demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.
Penolakan RUU TNI Meluas ke Berbagai Daerah di Indonesia
Aksi protes terhadap Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di berbagai kota di seluruh Indonesia. Mahasiswa dan masyarakat sipil menggelar demonstrasi di sejumlah wilayah, dari barat hingga timur Indonesia, menolak ketentuan dalam RUU yang dinilai membuka kembali peluang dwifungsi militer melalui perluasan operasi serta penempatan prajurit di institusi sipil.
Meskipun aksi protes telah berlangsung selama beberapa hari, DPR tetap mengesahkan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dalam Rapat Paripurna. Di berbagai daerah, aksi massa mendapat respons tegas dari aparat keamanan, bahkan di beberapa lokasi terjadi upaya pembubaran paksa.
Medan
Di Medan, Aliansi Masyarakat Sipil Sumut menggelar unjuk rasa di depan Pos Bloc Medan. Para demonstran membawa poster dengan berbagai tuntutan seperti "Awas Orde Baru Bangkit Lagi" dan "Tolak Dwifungsi TNI". Christison Sondang, perwakilan aksi, menilai pengesahan RUU ini tidak mencerminkan kepentingan masyarakat sipil dan justru berpotensi meningkatkan intervensi militer dalam ranah sipil.
Sementara itu, Nikita, perwakilan massa lainnya, menyampaikan kekecewaannya terhadap DPR yang dinilai tidak transparan dalam proses pengesahan RUU. Ia menegaskan bahwa aksi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.
Bandung
Di Bandung, mahasiswa melakukan demonstrasi di depan Gedung DPRD Jawa Barat. Mereka berjalan dari Universitas Islam Bandung (Unisba) sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Setibanya di lokasi aksi, mereka menyampaikan orasi menentang potensi dwifungsi TNI yang dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi. Beberapa spanduk yang dibentangkan di antaranya bertuliskan "Kembalikan TNI ke Barak" dan "Tolak RUU TNI".
Koordinator aksi dari Front Mahasiswa Nasional Bandung, Ainun, menegaskan bahwa RUU ini tidak berpihak kepada rakyat dan berisiko memperkuat militerisme dalam kehidupan sipil.
Semarang
Di Semarang, aliansi BEM Semarang Raya menggelar aksi unjuk rasa di depan kompleks DPRD Jawa Tengah. Demonstran membawa poster raksasa bertuliskan "Tentara Pulang ke Barak" dan "Welcome Neo Orba". Mereka berorasi secara bergantian di atas mobil pikap, menyuarakan tuntutan pencabutan UU TNI yang baru disahkan.
Aksi ini berlangsung hingga sore hari dan sempat terjadi ketegangan saat massa mencoba masuk ke kompleks DPRD. Polisi merespons dengan membubarkan paksa demonstran serta mengamankan empat orang untuk diperiksa lebih lanjut.
Yogyakarta
Di Yogyakarta, massa Aliansi Jogja Memanggil menggelar aksi dengan membuang sampah di teras Kantor DPRD DIY sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat. Selain itu, mereka juga melakukan aksi vandalisme dengan mencoret-coret fasad kantor menggunakan cat pilox (semprot) dan membakar sampah. Aparat kepolisian segera memadamkan api dan mengamankan situasi.
Seorang orator aksi menyatakan bahwa mereka berencana bertahan hingga RUU ini dibatalkan. Mereka menilai kebijakan yang diambil pemerintah semakin menekan rakyat kecil.
Surabaya
Di Surabaya, aksi protes tetap berlangsung meski RUU telah disahkan. Massa yang tergabung dalam Aksi Kamisan Surabaya menggelar demonstrasi di depan Gedung Negara Grahadi, tempat berlangsungnya Apel Gelar Pasukan Ops Ketupat Semeru 2025. Aksi ini sempat memicu ketegangan dengan aparat keamanan yang meminta massa untuk membubarkan diri. Namun, demonstran tetap bertahan hingga apel selesai.
Manado
Di Manado, aksi Aliansi Sulut Bergerak di depan DPRD Sulawesi Utara berlangsung ricuh. Ketegangan terjadi setelah massa yang menuntut audiensi dengan anggota DPRD tidak mendapat respons. Akibatnya, terjadi bentrokan antara demonstran dan aparat kepolisian yang berujung pada penangkapan tiga mahasiswa. LBH Manado segera memberikan pendampingan hukum bagi mereka yang diamankan dan mereka telah dibebaskan setelah pemeriksaan.
Klarifikasi Mengenai UU TNI
Di tengah polemik ini, Dosen Fakultas Hukum Unismuh Makassar, Muhammad Ikhwan Rahman, menegaskan bahwa revisi UU TNI tidak serta-merta menghidupkan kembali konsep Dwifungsi ABRI seperti pada era Orde Baru. Ia menjelaskan bahwa peran militer tetap terbatas pada sektor pertahanan dan keamanan serta penempatan personel TNI di lembaga sipil hanya diperbolehkan dalam instansi tertentu yang berkaitan langsung dengan keamanan nasional.
Meskipun demikian, banyak pihak masih menilai revisi UU ini membuka celah bagi intervensi militer dalam kehidupan sipil. Protes dan kritik dari berbagai elemen masyarakat mencerminkan kekhawatiran luas mengenai dampak dari kebijakan ini terhadap demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.
Aksi protes terhadap RUU TNI masih terus berlanjut di berbagai daerah. Banyak masyarakat sipil yang merasa bahwa keputusan ini diambil tanpa pertimbangan transparan dan partisipasi publik yang memadai. Seiring berkembangnya situasi, apakah pemerintah akan merespons tuntutan masyarakat atau tetap bertahan dengan keputusan yang telah diambil?