Dua kelompok asosiasi jurnalis bersuara perihal beberapa polemik yang mengkhawatirkan keberlanjutan media di Indonesia. Pemusatan penyiaran disinyalir sebagai salah satu pemicu terjadinya PHK besar-besaran dan regulasi yang tidak optimal terhadap platform luar negeri yang mengeruk mayoritas belanja iklan nasional. Mempertimbangkan berbagai polemik yang muncul, mereka menuntut pemerintah untuk sesegera mungkin mengusung regulasi yang ideal demi kompetisi yang adil bagi industri media Indonesia.
Kelompok-kelompok asosiasi jurnalis tersebut merupakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang bersuara tentang isu-isu krusial terkait keadaan media dalam rapat Komisi 1 DPR RI yang dilaksanakan pada Senin, 5 Maret lalu.
Bayu Wardhana selaku Sekretaris Jenderal AJI menyoroti akar dari PHK massal adalah pemusatan penyiaran di stasiun induk yang membuat pengiklan hanya ingin memasang iklan pada siaran-siaran yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun induk yang notabene berada di ibukota-ibukota provinsi seperti Jakarta. Pemusatan penyiaran tersebut membuat stasiun-stasiun induk yang memiliki cabang (stasiun anggota) melakukan pemutusan hubungan kerja dikarenakan hilangnya minat pengiklan untuk memasangkan iklan di stasiun-stasiun anggota yang kebanyakan berada di daerah-daerah lain seperti kabupaten dan kota.
Ini memprihatinkan, ya, banyak yang PHK … Terutama stasiun-stasiun TV berita itu kan pasti butuh berita daerah, dia (stasiun-stasiun televisi) butuh biro, dia butuh jurnalis di sana (daerah). Maka (stasiun-stasiun televisi) terpaksa menutup atau banyak mem-PHK, ya. Kita dengar di media iNews menutup biro di banyak daerah, kemudian CNN Indonesia, Kompas TV, dan TvOne mem-PHK cukup banyak jurnalis maupun pekerja media lain.
Perlu diketahui sebelumnya jika berdasar dari poin durasi dari Permen No.43/PER/M.KOMINFO/10/2009, sistem penyiaran di Indonesia yang mengatur stasiun anggota untuk menampilkan atau merelai siaran dari stasiun induk sebanyak 90% atau 50%. Maka dari itu, Sekretaris Jenderal API tersebut lanjut menjabarkan masalah ini bukan perihal kompetisi bisnis antar media semata, tetapi juga tersendatnya arus informasi atau berita daerah bagi masyarakat daerah. Berdasar dari masalah tersebut AJI, mengusulkan Sistem Siaran Jaringan (SSJ) dikembalikan seperti amanat Undang-Undang Penyiaran yang membuat siaran berita lokal dari stasiun anggota diperkuat. Dengan diperkuatnya siaran lokal, harapan ekonomi di daerah akan semakin meningkat, pemasukan iklan bagi stasiun induk maupun stasiun anggota akan lebih merata, dan pekerja media dapat bekerja kembali.
Jadi umpamanya saya ambil contoh produk air mineral, kalau saya harus pasang iklan sekarang di satu stasiun di Jakarta, maka di seluruh Indonesia muncul, lebih murah. Tapi kalau dengan Sistem Siaran Jaringan ini, saya harus menghubungi Jogja TV, Bali TV. Nah duitnya ke sana, jadi ke lokal.
Sedangkan dari pihak PWI, Agus Sudibyo selaku Ketua Bidang Kerja Sama Antar Lembaga di PWI yang kebetulan juga sebagai Ketua Dewan Pengawas TVRI menilik longgarnya kebijakan perihal pendapatan keuntungan yang diterapkan bagi platform digital luar negeri dapat menggerus media Indonesia. Sebagai informasi awal yang dilansir dari Niaga.Asia, total keuntungan dari belanja iklan digital yang direnggut oleh platform luar negeri seperti Google, Facebook, dan sejenisnya sudah mencapai 75% – 80%. Dari presentasi tersebut, Agus mengkhawatirkan jika masalah pendapatan keuntungan ini bukan sekedar masalah keberlanjutan media, tetapi juga merembet ke masalah kedaulatan dalam sektor ekonomi dan sektor nasional.
Nah ini masalah yang serius karena kalau 75% surplus ekonomi di bidang media itu lari ke luar negeri, maka tidak bisa lagi diputar di Indonesia. Dan dari sisi fiskal juga pertanyaan, apakah ini bisa menghasilkan pendapatan pajak yang meaningful sebagaimana kalau belanja iklan ini itu bisa dikelola di dalam negeri?
Maka dari itu PWI melalui Agus, mengusulkan kepada Komisi 1 untuk merujuk Netzwerkdurchsetzungsgesetz (NetzDG) atau undang-undang di negara Jerman yang meregulasi konten-konten media sosial. Dalam undang-undang tersebut, para platform diwajibkan memastikan konten-konten yang mereka manfaatkan atau sebarkan sudah sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan.
Maka di NetzDG, social media law Jerman itu, platform diberi kewajiban untuk menjelaskan algoritma yang mereka gunakan dan perubahan-perubahan atas algoritma itu, dan sejauh mana dampak publiknya. Termasuk dampak terhadap persaingan usaha. Yang kedua, platform itu secara reguler, tiga bulan sekali itu memberikan report kepada pemerintah, mungkin kepada KPI dalam konteks Undang-Undang Penyiaran tentang bagaimana perubahan-perubahan perkembangan mereka menaati undang-undang ini. Dan yang ketiga, platform wajib membangun mekanisme pengaduan kalau platform mereka sengaja atau tidak sengaja menyebarkan tentang video konten pedofilia, human trafficking, dan lain-lain.
Apabila suatu platform menyebarkan konten diluar nilai-nilai kemasyarakatan dan tidak segera menarik konten tersebut dari peredaran, maka platform tersebut akan diberi penalti yang berdampak kuat seperti membayar 3% dari total pendapatan platform tersebut ke negara, tambah Agus.
Seluruh input yang disampaikan pada rapat yang membahas dampak pengaturan penyiaran multiplatform dalam perubahan UU Penyiaran akan diusahakan menjadi suplai bagi penyusunan RUU Penyiaran yang keberlangsungannya masih berjalan sedari tahun 2012. Kendati input-input yang muncul pada rapat tersebut belum mengerucut ke tahap keputusan, munculnya dinamika di dalam rapat tersebut merefleksikan betapa signifikannya perhatian dari elemen-elemen publik pada reformasi media dalam negeri.