Fenomena kegagalan ratusan siswa di berbagai daerah Indonesia dalam mendaftar ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) menjadi cerminan dari ketidaksempurnaan sistem pendidikan kita. Berbagai laporan menunjukkan bahwa penyebab utama permasalahan ini adalah kelalaian pihak sekolah dalam mengelola Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS), yang menjadi syarat utama dalam proses seleksi ini.
Padahal, mendaftar ke PTN ternama dengan jalur SNBP adalah impian bagi semua siswa. Namun, sayangnya, apalah daya saat kelalaian sekolah menentukan nasib siswa ini.
Kasus-kasus seperti yang terjadi di SMKN 2 Solo, SMAN 4 Karawang, SMAN 7 Kota Cirebon, dan SMAN 1 Mempawah memperlihatkan bahwa kegagalan ini bukanlah kesalahan siswa, melainkan kesalahan sistem yang berulang dan kurangnya tanggung jawab pihak sekolah dalam mengelola administrasi penting semacam ini.
Kasus-kasus seperti yang terjadi di SMKN 2 Surakarta, di mana 300 siswa terancam gagal mendaftar akibat finalisasi PDSS yang tidak terselesaikan tepat waktu. Hal ini menunjukkan bahwa ketidaksiapan sekolah dalam menangani data akademik memiliki dampak serius. Tindakan protes demo yang dilakukan siswa dan orang tua bukan hanya merupakan bentuk kekecewaan mereka, tetapi juga seruan akan tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh pihak sekolah.
Hal yang sama juga terjadi di SMAN 4 Karawang, di mana 141 siswa gagal mendaftar akibat gangguan jaringan dan ketidaksesuaian data. Pernyataan wali murid yang menyebutkan bahwa kegagalan ini adalah "digagalkan" oleh pihak sekolah mempertegas bahwa ketidakmampuan administrasi pendidikan telah menjadi permasalahan kronis.
Di SMAN 7 Kota Cirebon, ketidakmampuan sekolah dalam mengantisipasi perubahan data siswa menjadi pemicu keterlambatan finalisasi PDSS. Keputusan untuk menunggu kuota penuh sebelum mendaftarkan siswa yang sudah siap dari awal menunjukkan kurangnya manajemen yang efektif. Hal ini berujung pada hilangnya kesempatan bagi 155 siswa yang sebenarnya memenuhi syarat untuk mengikuti SNBP.
Sementara itu, di SMAN 1 Mempawah, sekolah bahkan harus mengajukan permohonan perpanjangan waktu setelah melakukan kelalaian dalam pengisian PDSS. Respons Dinas Pendidikan yang memberikan teguran kepada kepala sekolah dan operator sekolah menunjukkan bahwa kesalahan ini sebenarnya bisa dihindari jika ada keseriusan dalam pengelolaan administrasi akademik.
Kegagalan ini tidak hanya merugikan siswa, tetapi juga mencerminkan ketidaksiapan sistem pendidikan dalam menghadapi perubahan dan tantangan digitalisasi. PDSS seharusnya menjadi alat yang mempermudah administrasi sekolah, bukan malah menjadi penghambat yang menciptakan ketidakadilan bagi siswa berprestasi.
Lebih jauh lagi, ketidakmampuan sekolah dalam menangani data akademik dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Jika kelalaian seperti ini terus terjadi, maka upaya pemerintah dalam meningkatkan akses pendidikan tinggi melalui jalur prestasi justru akan menjadi ironi.
Apa yang Harus Dilakukan? Yuk, Sobat Media, simak penjelasan dibawah ini!
Pihak sekolah perlu memastikan bahwa tenaga administrasi yang menangani PDSS itu harus memiliki kompetensi yang cukup dalam mengelola data akademik. Pelatihan berkala mengenai penggunaan sistem PDSS harus diadakan untuk mencegah kesalahan serupa di masa depan.
Selain itu, pemerintah melalui Kemendikbud Ristek, harus menerapkan sistem pemantauan yang lebih ketat terhadap pengisian PDSS di setiap sekolah. Penerapan sistem peringatan dini bagi sekolah yang belum menyelesaikan pengisian data sebelum batas waktu dapat menjadi solusi untuk menghindari keterlambatan.
Meskipun disiplin dalam pendaftaran penting, harus ada mekanisme khusus yang memungkinkan perpanjangan waktu dalam situasi tertentu yang dapat dibuktikan secara administratif. Keterlambatan yang disebabkan oleh faktor teknis atau kesalahan administrasi harus dapat dikaji kembali agar tidak merugikan siswa yang memenuhi syarat.
Ketidakmampuan sekolah dalam mengelola PDSS telah menciptakan kegagalan yang berdampak langsung pada masa depan akademik siswa. Jika masalah ini terus berulang, maka sistem seleksi pendidikan tinggi akan semakin dipertanyakan. Sudah saatnya pemerintah dan pihak sekolah berbenah, bukan hanya dalam hal kebijakan, tetapi juga dalam pelaksanaan yang harus lebih profesional lagi.
Ingat! Jangan biarkan masa depan siswa terhambat oleh kelalaian yang sebenarnya bisa dicegah.