Kerajaan Bone: Sejarah Berdiri, Raja-raja, Islamisasi, dan Penetapan Hari Jadi Bone

Ditulis Oleh Rahmat Adnan Lira Pada Apr 2025

Di tengah geliat modernisasi dan derasnya arus informasi digital, mengenang kembali sejarah panjang suatu daerah bukanlah sekadar romantisme masa lalu. Justru dari sana kita bisa menemukan identitas, semangat, dan pelajaran hidup yang relevan untuk dijadikan pijakan masa depan.

Bone bukan sekadar kabupaten di Sulawesi Selatan. Bone adalah simbol kejayaan peradaban, keberanian, diplomasi, dan kebijaksanaan. Nama besar tokoh-tokoh, seperti Arung Palakka, La Tenritatta, We Tenrituppu, dan sederet raja-raja lainnya masih terus bergema dalam cerita rakyat, manuskrip sejarah, hingga kajian akademis. Kerajaan Bone dikenal sebagai salah satu kerajaan besar yang memiliki pengaruh luas di daratan Sulawesi, baik dari segi politik, budaya, hingga hubungan luar negeri.

Awal Berdirinya Kerajaan Bone

Kerajaan Bone berdiri sekitar abad ke-14, diperkirakan pada tahun 1330 Masehi. Berdirinya kerajaan ini ditandai dengan pengangkatan Manurunge ri Matajang sebagai raja pertama yang memerintah dengan gelar Mata Silompo'e. Ia bukan hanya tokoh politik, melainkan juga figur pemersatu komunitas-komunitas yang tersebar di wilayah Bone saat itu.

Dahulu disebut Tanah Bone. Nama "Bone" sendiri berasal dari bahasa bugis kuno yang berarti Pasir. Dalam struktur adat, masyarakat Bone memiliki sistem pemerintahan yang unik berbasis ade’, bicara, dan rapang—tiga pilar yang menjadi dasar nilai dan hukum dalam masyarakat Bone.

Seiring waktu, Kerajaan Bone berkembang menjadi kekuatan besar di kawasan Sulawesi Selatan. Kerajaan ini menjalin hubungan diplomatik dan perang dengan kerajaan tetangga seperti Gowa, Tallo, Luwu, Wajo, dan Soppeng.

Deretan Raja-Raja Kerajaan Bone

Bone mencatat sejarah panjang pemerintahan dari raja-raja yang memimpin dengan berbagai kebijakan, strategi militer, serta reformasi sosial dan budaya. Berikut adalah beberapa raja dalam sejarah Kerajaan Bone:

  1. MANURUNGE RI MATAJANG, MATA SILOMPOE, 1330-1365.

  2. LA UMMASA, PETTA PANRE BESSIE, 1365-1368.

  3. LA SALIYU KARAMPELUA,  1368-1470.

  4. WE BANRIGAU,  MALLAJANGE RI CINA,  1470-1510.

  5. LA TENRISUKKI, MAPPAJUNGE,  1510-1535.

  6. LA ULIYO BOTE-E, MATINROE RI ITTERUNG, 1535-1560.

  7. LA TENRIRAWE BONGKANGE, MATINROE RI GUCINNA,  1560-1564.

  8. LA INCA, MATINROE RI ADDENENNA,  1564-1565.

  9. LA PATTAWE, MATINROE RI BETTUNG, 1565-1602.

  10. WE TENRITUPPU, MATINROE RI SIDENRENG, 1602-1611.

  11. LA TENRIRUWA, SULTAN ADAM, MATINROE RI BANTAENG, 1611-1616.

  12. LA TENRIPALE, MATINROE RI TALLO, 1616-1631.

  13. LA MADDAREMMENG, MATINROE RI BUKAKA, 1631-1644.

  14. LA TENRIAJI, ARUNGPONE, MATINROE RI PANGKEP, 1644-1672.

  15. LA TENRITATTA, DAENG SERANG, MALAMPE-E GEMME’NA, ARUNG PALAKKA, 1672-1696.

  16. LA PATAU MATANNA TIKKA, MATINROE RI NAGAULENG, 1696-1714.

  17. WE BATARITOJA, DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG, SULTANAH ZAINAB ZULKIYAHTUDDIN,  1714-1715.

  18. LA PADASSAJATI, TOAPPEWARE, PETTA RIJALLOE, SULTAN SULAEMAN, 1715-1718.

  19. LA PAREPPA, TOSAPPEWALI, SULTAN ISMAIL, MATINROE RI SOMBAOPU,  1718-1721.

  20. LA PANAONGI, TOPAWAWOI, ARUNG MAMPU, KARAENG BISEI,  1721-1724.

  21. WE BATARITOJA, DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG, SULTANAH ZAINAB ZULKIYAHTUDDIN, 1724-1749.

  22. LA TEMMASSONGE, TOAPPAWALI, SULTAN ABDUL RAZAK, MATINROE RI MALLIMONGENG, 1749-1775.

  23. LA TENRITAPPU, SULTAN AHMAD SALEH, 1775-1812.

  24. LA MAPPASESSU, TOAPPATUNRU, SULTAN ISMAIL MUHTAJUDDIN, MATINROE RILEBBATA, 1812-1823.

  25. WE IMANIRATU, ARUNG DATA, SULTANAH RAJITUDDIN, MATINROE RI KESSI, 1823-1835.

  26. LA MAPPASELING, SULTAN ADAM NAJAMUDDIN, MATINROE RI SALASSANA, 1835-1845.

  27. LA PARENRENGI, ARUNGPUGI, SULTAN AHMAD MUHIDDIN, MATINROE RIAJANG BANTAENG, 1845-1857.

  28. WE TENRIAWARU, PANCAITANA BESSE KAJUARA, SULTANAH UMMULHUDA, MATINROE RI MAJENNANG, 1857-1860.

  29. LA SINGKERU RUKKA, SULTAN AHMAD IDRIS, MATINROE RI TOPACCING, 1860-1871.

  30. WE FATIMAH BANRI, DATU CITTA, MATINROE RI BOLAMPARE’NA, 1871-1895.

  31. LA PAWAWOI, KARAENG SIGERI, MATINROE RI BANDUNG, 1895-1905.

  32. LA MAPPANYUKKI, SULTAN IBRAHIM, MATINROE RI GOWA, 1931-1946.

  33. LA PABBENTENG, MATINROE RI MATUJU, 1946-1951.

Islam Masuk dan Berkembang di Bone

Proses masuknya Islam ke Kerajaan Bone tidak bisa dilepaskan dari peran Kerajaan Gowa. Saat itu, Gowa giat menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan melalui penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan lain. Namun, Kerajaan Bone menolak ajakan ini karena mencurigai adanya ambisi politik di baliknya, yakni dominasi Gowa atas seluruh kerajaan di kawasan tersebut.

Penolakan ini memicu konflik besar yang dikenal dengan Musu Selengnge atau Perang Pengislaman. Pada tahun 1611 Masehi, Bone akhirnya ditaklukkan. Para bangsawan dan raja-raja bawahan (Arung Palili) kemudian menyatakan keislaman mereka dengan mengucap dua kalimat syahadat.

Meski Islam telah diterima secara formal, rakyat Bone masih berada dalam tekanan politik. Keadaan baru membaik ketika Lamaddaremmeng, Raja Bone ke-13, memerintah pada tahun 1625 hingga 1640. Di bawah kepemimpinannya, ajaran Islam mulai ditegakkan secara konsisten, termasuk penerapan hukuman bagi pelaku zina, pencurian, dan pelanggaran lainnya.

Salah satu langkah penting Lamaddaremmeng adalah penghapusan sistem perbudakan (ata’), karena ia meyakini bahwa setiap manusia terlahir bebas. Keputusan inilah yang memicu ketegangan baru dengan Kerajaan Gowa, hingga akhirnya mereka kembali melancarkan serangan dengan alasan menjaga stabilitas dan keamanan.

Awal Mula Penetapan Hari Jadi Bone

Penetapan tanggal 6 April sebagai Hari Jadi Bone bukanlah hal yang serta-merta. Keputusan ini melalui kajian sejarah yang panjang dan melibatkan para ahli budaya, sejarawan, tokoh adat, serta pemerintah daerah. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1990, Hari Jadi Bone ditetapkan jatuh pada tanggal 6 April.

Penetapan tersebut merujuk pada waktu naik tahtanya Manurunge ri Matajang sebagai raja pertama Bone. Tanggal 6 April dipilih karena secara historis diyakini sebagai momentum awal terbentuknya pemerintahan yang terorganisir di Bone. Dengan penetapan ini, setiap tanggal 6 April dirayakan secara khidmat dan meriah, baik dalam bentuk upacara adat, seminar sejarah, hingga pentas budaya.

Merawat Warisan, Menatap Masa Depan

Bone bukan hanya lembaran sejarah yang usang, melainkan kisah perjuangan, keteguhan, dan kebanggaan. Dari Manurunge ri Matajang hingga La Pawawoi Karaeng Sigeri, dari kerajaan hingga kabupaten, dari perlawanan hingga modernisasi—Bone selalu berdiri tegak.

Peringatan Hari Jadi Bone adalah ajakan bagi kita semua untuk tidak melupakan akar, menjaga warisan budaya, dan terus memperkuat identitas sebagai masyarakat yang besar dan beradab.

Referensi.

Abdullah, Anzar, "Kerajaan Bone dalam Lintasan Sejarah Sulawesi Selatan (Sebuah Pergolakan Politik dan Kekuasaan dalam Mencari, Menemukan, Menegakkan dan Mempertahankan Nilai-nilai Entitas Budaya Bugis)", Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences, 12 (2), 2017.

Bahtiar, Muhammad Amir, Rosdiana Halid, WE MANIRATU ARUNG DATA: Srikandi dalam Perjuangan Melawan Belanda, Makassar: Mustaka Refleksi, 2015.

bone.go.id

Abhiseva.id

detik.com

Profil Penulis:

Rahmat Adnan Lira

salah satu peliput media suara indonesia


Artikel Terkait

Cover for Bahaya Makanan dan Minuman Manis Berlebih untuk Anak

Bahaya Makanan dan Minuman Manis Berlebih untuk Anak

Ditulis Oleh

Rahmat Adnan Lira

pada

Apr 2025

Siapa yang tidak suka makanan dan minuman manis? Anak-anak sering kali sulit menolak cokelat, permen, atau minuman berso

Cover for Keadilan Islam dan Kesetaraan Gender?

Keadilan Islam dan Kesetaraan Gender?

Ditulis Oleh

Rahmat Adnan Lira

pada

Apr 2025

Ketika mendengar kata “feminisme,” mungkin sebagian dari kita langsung terbayang tentang perjuangan perempuan untuk kese