Tidak lama setelah di lantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-47, Donal Trump menandatangani perintah eksekutif (executive orders). Perintah itu mencakup kebijakan kontroversial di bidang energi dan iklim. Kebijakan-kebijakan itu mendapatkan sorotan dari berbagai lembaga dunia maupun para aktivis lingkungan. Mereka menyebut hal itu langkah mundur dalam memerangi perubahan iklim.
Pertama, Trump akan menarik AS dari perjanjian iklim Paris yang merupakan upaya paling penting untuk mengatasi kenaikan suhu bumi. Di Paris pada tahun 2015 lalu, hampir 200 negara telah menyetujui serangkaian tindakan untuk mengatasi perubahan iklim yang dirancang untuk menghindari beberapa konsekuensi terburuk dari kenaikan suhu. Namun pada hari pertamanya menjabat, Presiden terpilih Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan menarik diri dari kesepakatan tersebut. Meskipun perjanjian Paris bukanlah perjanjian yang mengikat secara hukum, tapi itu adalah dokumen yang mendorong kerja sama global untuk membatasi penyebab pemanasan global.
Trump menandatangani perintah eksekutif yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut "tidak mencerminkan nilai-nilai negara kita atau kontribusi kita dalam mengejar tujuan ekonomi dan lingkungan" dan "memberikan beban yang tidak adil bagi Amerika Serikat". Langkah ini diambil setelah suhu global pada 2024 naik lebih dari 1,5°C di atas tingkat pra-industri, untuk pertama kalinya dalam satu tahun kalender.
Kedua, dalam pidato pelantikannya, Trump bersumpah AS akan memulai era baru bagi energi fosil dengan mendorong pengeboran dan eksplorasi proyek-proyek minyak dan gas (migas). Sejak 2016, produksi minyak AS telah meningkat sebesar 70%. AS saat ini menjadi produsen dan eksportir minyak dan liquefield natural gas (LNG) yang dominan di dunia.
Setelah resmi menjabat sebagai Presiden AS, Donald Trump langsung menandatangani perintah eksekutif darurat energi nasional untuk menggenjot kembali penggunaan bahan bakar fosil. Trump memerintahkan peningkatan produksi minyak dan gas (migas) AS. Sementara, sejumlah proyek pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) akan ditunda.
Menurut Trump, langkah ini akan menurunkan harga energi dan mendorong ekspor ke seluruh dunia. "Darurat energi" menjadi salah satu perintah eksekutif yang ditandatangani Trump pada Selasa (21/1).
Langkah ini menjadi kebijakan Trump yang bertujuan memperkuat "dominasi energi" AS dan membatalkan sejumlah kebijakan energi bersih mantan presiden Joe Biden. Trump menilai kebijakan-kebijakan perubahan iklim Biden menjadi penyebab inflasi.
Ketiga, Trump menyatakan akan mengakhiri Green New Deal yang merupakan kebijakan publik untuk mengatasi perubahan iklim. Sebenarnya, Green New Deal juga bertujuan membuka lapangan kerja baru, mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Namun berbeda dari pandangan Trump, "dengan tindakan saya hari ini, kita akan mengakhiri Green New Deal," ucapnya.
Keempat, Trump akan membatalkan upaya untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan listrik yang disebut sebagai “mandat” yakni aturan Badan Perlindungan Lingkungan yang mewajibkan produsen mobil mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50 persen pada kendaraan ringan dan menengah. Padahal kebijakan Presiden Joe Biden sebelumnya manargetkan jumlah kendaraan listrik AS mencapai 50% dari total populasi kendaraan pada 2030 dan menyiapkan dana sebesar US$ 5 miliar untuk hal tersebut. Nyatanya, Donald Trump mencabut instruksi presiden pendahulunya, sekaligus dalam instruksi presidennya yang baru menghentikan penyaluran dana pemerintah belum terpakai untuk pembangunan stasiun pengisian daya kendaraan listrik.
“Kita akan kembali memproduksi mobil di Amerika dengan kecepatan yang tidak pernah diimpikan oleh siapa pun beberapa tahun yang lalu,” ujar Trump.
Kelima, Trump akan mengakhiri penyewaan tanah dan perairan federal untuk pembangkit listrik tenaga baru (PLTB) besar-besaran yang disebutnya merusak lanscape nasional. Dalam sebuah konferensi pers, ia menyerang keputusan Joe Biden yang menyetujui sebelas proyek tenaga angin lepas pantai AS. Ia juga menyebut pengeluaran federal untuk energi bersih merupakan pemborosan.
Langkah awal Trump mencerminkan komitmennya untuk membatalkan kebijakan era Joe Biden yang bertujuan mengurangi permintaan bahan bakar fosil dan memerangi perubahan iklim. Beberapa kebijakan besar terkait energi dan lingkungan kemungkinan akan menghadapi gugatan hukum di pengadilan federal. Meski begitu, Trump tetap menekankan janjinya untuk membuka lebih banyak sumber energi Amerika. Namun, para aktivis lingkungan mengecam langkah Trump karena menyebutnya sebagai keuntungan besar bagi industri minyak yang telah mendukung kampanyenya. Kebijakan Trump diperkirakan akan memberikan dampak negatif bagi energi terbarukan.
Meskipun Trump berjanji menurunkan biaya energi, kebijakan ini cenderung lebih mendukung bahan bakar fosil daripada energi terbarukan seperti angin dan surya. Langkah-langkah tersebut menandakan perubahan yang sangat drastis dalam kebijakan energi Washington setelah mantan Presiden Joe Biden berupaya selama empat tahun untuk mendorong transisi dari bahan bakar fosil.